Sindiran China terhadap AS: Ketika Retorika Menjadi Medan Perang Baru

Beijing — Tidak perlu meriam atau misil. Dalam dunia yang kian terkoneksi dan diplomasi yang semakin canggih, sindiran China terhadap AS kini menjadi senjata retoris yang cukup mengguncang tatanan global. Perang tak lagi dimulai dengan peluru, tapi dengan ucapan yang penuh makna.
Pekan lalu, dalam sesi terbuka forum multilateral di Shanghai, seorang diplomat senior Tiongkok tanpa menyebut nama menyentil negara yang “selalu bicara soal pasar bebas, tapi justru paling sering pasang pagar tinggi.” Semua tahu, itu sindiran untuk Amerika Serikat.
Bukan kali pertama. Dan tampaknya, bukan yang terakhir.
Sindiran China terhadap AS: Dari Balas Tarif ke Perang Ucapan
Sejak awal perang dagang meletup di 2018, hubungan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini terus bergerak dalam spiral yang tak pasti. Dari tarif impor, pembatasan teknologi, hingga boikot perusahaan, kini giliran retorika jadi senjata utama.
China tak lagi malu-malu. Jika dulu mereka cenderung ‘diam tapi berjalan’, kini lebih vokal, bahkan berani tampil agresif dalam kata. Sebuah transformasi menarik yang oleh pengamat disebut sebagai “fase diplomasi tandingan”.
“Retorika China saat ini bukan tanpa maksud. Ini adalah bentuk perlawanan simbolik terhadap dominasi narasi Barat,” kata Mahendra Wijaya, analis hubungan internasional dari Jakarta Strategic Institute.
Sindiran China terhadap AS sebagai Strategi, Bukan Emosi
Banyak yang mengira ucapan bernada tajam dari Beijing hanyalah bentuk kejengkelan. Tapi realitanya, ini bagian dari strategi. Sindiran China terhadap AS digunakan untuk memainkan dua lapis permainan: memperkuat citra di dalam negeri sekaligus membentuk opini internasional.
Kita bicara tentang narasi. Bukan sekadar cerita, tapi upaya membingkai kembali siapa yang jadi “pahlawan” dan siapa yang sebenarnya “mengganggu stabilitas global”.
Lewat media seperti Global Times dan juru bicara kementerian luar negeri, sindiran diluncurkan dalam format yang rapi. Kritik China terhadap Amerika Serikat dibalut humor, sarkasme, dan kadang perumpamaan sejarah.
Reaksi Dunia terhadap Sindiran China terhadap AS: Menonton, Menimbang, Menyesuaikan
Meskipun tak ada yang bisa menyangkal bahwa dunia kini lebih multipolar, namun dalam multipolaritas ini, banyak negara memilih bersikap hati-hati. Sebagai contoh, negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, lebih memilih untuk tidak memihak terlalu cepat.
Banyak pihak menilai sindiran China mencerminkan keberanian untuk ‘mengoreksi’ cara lama yang selama ini didominasi oleh Washington.
“Ini bukan soal membenci Amerika. Tapi dunia butuh keseimbangan suara. Dan China memanfaatkan momen ini dengan cerdas,” ujar Lydia Laurent, pengamat geopolitik asal Prancis.
Apa Dampaknya ke Ekonomi Global?
Kritik China terhadap Amerika Serikat mulai menunjukkan pengaruh konkret di pasar global, membuat investor bersikap wait and see dan perusahaan besar menyesuaikan strategi rantai pasok.
Seorang pelaku ekspor di Surabaya yang enggan disebut namanya mengaku, “Kami dulu sering kirim bahan baku ke pabrik yang pasokannya dikirim ke AS. Sekarang prosesnya ribet, kadang ditolak tanpa alasan jelas. Efek perang dagang terasa meski kita jauh dari sana.”
Lebih dari Sekadar Sindiran
Jika dilihat sekilas, sindiran China terhadap AS mungkin hanya dianggap sebagai bumbu diplomasi. Tapi jika ditelusuri, ini lebih dari itu. Ini adalah sinyal: bahwa dunia tidak lagi siap didikte oleh satu suara saja.
China seolah berkata, “Kami bukan hanya ekonomi besar, tapi juga narasi alternatif.”
Dalam beberapa tahun ke depan, kita mungkin akan melihat sindiran-sindiran ini menjadi headline, menjadi pembuka pertemuan diplomatik, atau bahkan menjadi pemicu negosiasi besar.
Penutup: Kata-Kata yang Mengguncang Dunia
Sindiran adalah seni. Di tangan politisi, ia menjadi alat tekanan. Di tangan negara seperti China, ia menjadi instrumen pembentuk realitas global.
Amerika mungkin masih jadi raksasa militer dan teknologi. Tapi dalam permainan kata, kini mereka tak sendirian. Beijing telah masuk arena, dan mereka bicara lantang—meski tak menyebut nama. Dan seperti yang kita tahu, dalam politik, yang tak diucapkan justru seringkali paling keras terdengar.
Bca Juga: Kasus Stanford Prison Experiment