Tambang Rare Earth di China Cemari Lingkungan, Dunia Bergantung

Poisoned water and scarred hills – begitulah tajuk laporan investigasi BBC yang membongkar sisi kelam industri rare earth di China. Di balik kejayaan teknologi modern seperti mobil listrik, turbin angin, ponsel pintar hingga senjata canggih, tersimpan harga mahal yang dibayar lingkungan dan manusia, khususnya di wilayah tambang seperti Bayan Obo di Inner Mongolia dan Ganzhou di Jiangxi.
Laporan BBC menampilkan pemandangan dramatis: bukit-bukit yang terkoyak menjadi kawah raksasa, air berubah hitam akibat tercemar logam berat, dan tanah yang dulu hijau kini gersang seperti permukaan bulan. Semua ini terjadi demi mengekstraksi logam tanah jarang yang menjadi “bahan bakar” teknologi dunia.
Limbah Berbahaya dan Ancaman Kesehatan
Bayan Obo, misalnya, adalah salah satu tambang rare earth terbesar di dunia. Namun aktivitasnya menghasilkan limbah berbahaya dalam jumlah masif. Untuk setiap ton rare earth yang dihasilkan, tercipta ribuan ton limbah yang mengandung zat radioaktif, asam sulfat, serta logam berat seperti thorium dan uranium. Limbah ini sering dialirkan ke tailings pond (danau buatan penampung limbah), yang rawan bocor ke tanah dan aliran sungai, termasuk Sungai Kuning yang menjadi sumber air vital bagi jutaan warga China.
Warga yang tinggal dekat kawasan tambang melaporkan masalah kesehatan serius, mulai dari penyakit pernapasan, kanker, hingga cacat tulang. Namun, bagi sebagian masyarakat setempat, tambang juga menjadi sumber penghidupan, memberikan penghasilan antara 5.000 hingga 6.000 yuan per bulan bagi pekerja tambang. Dilema pun muncul: memilih lingkungan sehat atau bertahan hidup dari industri tambang.
Dunia Terjebak Ketergantungan
Ironisnya, meski membawa kerusakan besar, industri rare earth tak tergantikan. China saat ini memasok lebih dari 80 persen kebutuhan rare earth dunia. Logam-logam ini sangat penting untuk membuat magnet super kuat di ponsel pintar, kendaraan listrik, turbin angin, hingga teknologi militer. Tanpa pasokan China, banyak industri teknologi dunia akan terganggu.
Laporan BBC juga menyinggung bahwa negara-negara Barat kini berusaha mengurangi ketergantungan mereka pada China dengan membuka tambang rare earth baru di Australia, AS, bahkan Afrika. Namun, tambang-tambang baru ini menghadapi tantangan sama: limbah beracun, biaya tinggi, dan protes masyarakat lokal.
Pemerintah China sendiri mengklaim telah memperketat aturan lingkungan sejak 2012. Namun BBC mencatat bahwa upaya reklamasi masih belum mampu mengembalikan kerusakan skala besar yang sudah terjadi. Sebagian proyek perbaikan lahan hanya menghasilkan taman buatan di pinggiran tambang, sementara area yang benar-benar tercemar masih dibiarkan rusak.
Realita Harga Teknologi Modern
Kini dunia menghadapi dilema besar: terus menikmati teknologi canggih dengan harga lingkungan yang sangat mahal, atau mencari cara baru agar produksi rare earth lebih bersih dan berkelanjutan.
Laporan BBC menegaskan bahwa biaya sebenarnya dari logam rare earth bukan sekadar angka ekspor, melainkan harga lingkungan dan kesehatan yang ditanggung masyarakat sekitar tambang. Jika konsumen global tak peduli asal-usul bahan baku teknologi yang mereka gunakan, kerusakan akan terus berulang.
Baca Juga : China Bebas Visa 30 Hari, WNI Masih Perlu Visa Masuk Daratan
Dengan China tetap memegang kendali pasokan rare earth dunia, dunia seolah terjebak antara kebutuhan teknologi masa depan dan warisan kerusakan bumi yang kian parah. BBC melalui laporannya mengingatkan: di balik setiap smartphone atau mobil listrik, ada air beracun, bukit-bukit yang terkelupas, dan masyarakat yang terpaksa hidup di tengah risiko kesehatan yang mengintai.