Taiwan Gelar Recall 24 Legislator KMT, Ketegangan Memuncak

Panggung politik Taiwan kembali memanas dengan pelaksanaan pemungutan suara “recall” terhadap 24 legislator dari partai oposisi Kuomintang (KMT). Proses ini merupakan bagian dari gelombang demokratis terbesar yang pernah terjadi di Taiwan sejak sistem recall diperluas pada 2022. Didorong oleh ketidakpuasan publik terhadap manuver politik KMT yang dianggap menghambat agenda nasional, pemungutan suara ini menyentuh jantung parlemen dan memicu reaksi beragam di dalam dan luar negeri.
Gerakan recall ini dimulai dari berbagai kelompok masyarakat sipil yang menuduh para legislator KMT berpihak pada China, menolak anggaran pertahanan, serta memblokir legislasi penting dari pemerintah Presiden Lai Ching-te yang berasal dari Partai Progresif Demokratik (DPP). Setelah dua tahap petisi berhasil dilalui, proses recall kini mencapai tahap penentuan: suara publik akan menentukan apakah legislator yang terdaftar harus dilengserkan atau tetap menjabat.
Proses recall tidak mudah. Agar berhasil, pemungutan suara harus memenuhi dua syarat: partisipasi minimal 25% dari jumlah pemilih terdaftar di masing-masing distrik, dan mayoritas suara mendukung pemecatan. Jika kedua syarat terpenuhi, maka legislator terkait akan diberhentikan dan dilarang mencalonkan diri selama tujuh tahun ke depan.
Pro dan Kontra Terbelah, Beijing Ikut Bereaksi
Pemungutan suara yang dijadwalkan berlangsung pada akhir Juli 2025 ini disambut oleh unjuk rasa dari kedua kubu. Kelompok pendukung recall menyuarakan slogan seperti “Lindungi Taiwan dari China” dan “Wakil rakyat bukan boneka Beijing”. Sebaliknya, para pendukung KMT menilai proses ini sebagai bentuk penyalahgunaan demokrasi oleh pihak penguasa, yang menggunakan recall untuk menyingkirkan oposisi.
Di luar negeri, China menanggapi perkembangan ini dengan cemas. Beijing menyebut kampanye recall sebagai bentuk “destabilisasi” dan “manipulasi politik” oleh DPP untuk memperkuat kekuasaan dan menekan suara-suara oposisi yang cenderung pro-dialog. Pemerintah Taiwan segera membantah tudingan itu, menegaskan bahwa recall adalah hak konstitusional rakyat yang sah dan tidak boleh dicampuri oleh negara lain.
Para analis memprediksi bahwa siapapun yang menang, gejolak politik akan tetap terasa. Jika DPP sukses menyingkirkan sebagian besar legislator KMT, mereka berpotensi merebut kembali dominasi di parlemen dan memuluskan agenda reformasi serta belanja militer. Namun, langkah ini juga bisa menimbulkan ketegangan lebih dalam antara pemerintah dan pendukung oposisi.
Pemilu recall ini bukan hanya soal mengisi kursi legislatif, tetapi juga akan menjadi tolok ukur stabilitas demokrasi Taiwan ke depan. Jika terlalu banyak legislator yang dilengserkan, kubu KMT diperkirakan akan menantang hasilnya, bahkan bisa memboikot agenda-agenda legislatif. Ketegangan tersebut bisa meluas hingga ke pemilu lokal mendatang pada 2026, bahkan berpengaruh ke pilpres 2028.
Baca juga : Taipei Hentikan Kota Selama 30 Menit, Latihan Hadapi Ancaman Serangan Udara dari China
Selain itu, hasil recall bisa berdampak besar terhadap hubungan Taiwan dengan sekutu-sekutu internasional. AS, sebagai pendukung kuat demokrasi Taiwan, sudah menyatakan dukungan atas proses konstitusional ini. Di sisi lain, China kemungkinan akan menggunakan hasil ini sebagai propaganda untuk menggambarkan ketidakstabilan Taiwan sebagai alasan sah memperkuat klaim terhadap pulau tersebut.
Secara internal, keberhasilan recall bisa menjadi momen penting bagi penguatan kekuasaan DPP, tetapi juga berisiko membuka luka politik yang dalam di tengah masyarakat. Sebagian warga mungkin melihat ini sebagai upaya memberangus oposisi, bukan sekadar memperjuangkan suara rakyat. Oleh karena itu, pemerintahan Presiden Lai harus berhati-hati mengelola dinamika politik pasca-recall untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi yang sedang diuji ini.