Proyeksi Pertumbuhan China Naik di 2025

Proyeksi Pertumbuhan China menjadi sorotan setelah Bank Dunia merevisi naik outlook 2025 ke sekitar 4,8 persen. Pembaruan ini mencerminkan stabilisasi konsumsi, dukungan fiskal yang terarah, dan langkah penyehatan sektor keuangan yang mulai terasa. Efeknya menjalar ke kawasan Asia Timur dan Pasifik melalui perbaikan arus perdagangan, pariwisata, serta sentimen investasi. Di sisi lain, bank pembangunan itu tetap menekankan disiplin kebijakan agar pertumbuhan tidak hanya mengandalkan stimulus jangka pendek.
Pada horizon berikutnya, laju 2026 diperkirakan menurun karena basis yang tinggi, penyesuaian fiskal, dan perlambatan global. Tekanan dari sektor properti, produktivitas industri, serta permintaan ekspor yang belum merata tetap menjadi perhatian. Proyeksi Pertumbuhan China yang lebih tinggi tahun depan dinilai positif untuk kestabilan kawasan, namun pemulihan berkelanjutan masih menuntut reformasi struktural dan penguatan kepercayaan konsumen.
Alasan Kenaikan dan Risiko yang Perlu Diwaspadai
Kenaikan proyeksi ditopang bauran kebijakan: insentif pajak untuk sektor prioritas, dukungan likuiditas ke perbankan, serta belanja infrastruktur yang memperbaiki konektivitas. Perbaikan mobilitas dan pasar tenaga kerja mendorong konsumsi rumah tangga, sementara ekspor bernilai tambah—termasuk kendaraan listrik dan panel surya—memperluas pangsa pasar. Proyeksi Pertumbuhan China juga terbantu inflasi yang terjaga, sehingga suku bunga riil tidak terlalu menekan investasi.
Meski demikian, beberapa risiko patut dicermati. Penyehatan sektor properti berjalan gradual, sehingga transmisi ke kredit perumahan dan belanja terkait konstruksi masih tertahan. Jika mitra dagang utama melambat, pesanan manufaktur dapat kembali melemah. Pengetatan pembiayaan pemerintah daerah akan menguji ketahanan fiskal, sementara tensi geopolitik berpotensi mengganggu rantai pasok. Untuk menjaga kualitas pertumbuhan, otoritas perlu mempercepat reformasi pasar, memperkuat jaring pengaman sosial, serta meningkatkan produktivitas UKM agar Proyeksi Pertumbuhan China tidak bergantung pada stimulus semata.
Perbaikan outlook Tiongkok memberi sentimen positif ke Asia Timur dan ASEAN melalui perdagangan, pariwisata, dan arus modal. Permintaan bahan baku dan setengah jadi berpotensi mengangkat kinerja ekspor regional, termasuk Indonesia pada komoditas seperti nikel, batu bara, dan CPO, sekaligus produk manufaktur otomotif dan elektronik. Namun ketergantungan pada komoditas membuat harga global dan nilai tukar tetap menjadi faktor penentu. Dengan kebijakan makro yang hati-hati, penurunan imbal hasil global bisa mendorong aliran dana ke obligasi dan saham kawasan.
Bagi Indonesia, strategi hilirisasi, insentif investasi hijau, serta diplomasi dagang yang proaktif menjadi kunci memanfaatkan momentum. Diversifikasi pasar dan peningkatan standar kualitas ekspor akan menjaga daya saing jika persaingan meningkat. Pemerintah dan pelaku usaha dapat menyiapkan promosi terpadu ke rantai pasok Asia agar efek berganda lebih besar. Dengan tata kelola yang konsisten, penguatan hubungan dagang akan melengkapi Proyeksi Pertumbuhan China yang lebih baik dan menambah resiliensi ekonomi domestik.