Presiden Dewan HAM Indonesia Dapat Dukungan China 2026
Presiden Dewan HAM menjadi sorotan setelah China menyatakan dukungan kepada Indonesia untuk memimpin Dewan HAM PBB pada 2026. Dukungan itu disampaikan dalam pengarahan pers Kementerian Luar Negeri China pada 25 Desember 2025, menyusul pencalonan Indonesia dari kelompok Asia-Pasifik. Di Jakarta, kabar ini dipandang sebagai sinyal positif bagi peran Indonesia di forum multilateral.
Menurut informasi diplomatik, penetapan formal dijadwalkan pada awal Januari 2026, sehingga Indonesia tinggal menunggu proses pengesahan di Jenewa. Sejumlah pejabat menilai dukungan China memperkuat ruang dialog, tetapi presidensi tetap menuntut posisi memimpin yang netral di ruang sidang. Pemerintah menyiapkan koordinasi lintas kementerian agar mandat internasional sejalan dengan prioritas nasional.
Di internal PBB, presidensi Dewan HAM bersifat satu tahun dan biasanya dipegang bergiliran antarkawasan. Indonesia disebut akan menugaskan perwakilan tetapnya di Jenewa untuk memimpin rapat-rapat dan memastikan tata tertib berjalan. Dengan peluang itu, Presiden Dewan HAM menjadi peran strategis sekaligus ujian konsistensi diplomasi di tengah isu global yang dinamis.
Mekanisme Rotasi dan Tugas Memimpin Sidang
Proses menuju presidensi dimulai ketika Asia-Pacific Group di Dewan HAM PBB menominasikan Indonesia sebagai kandidat untuk masa jabatan 2026. Dalam mekanisme rotasi, kawasan Asia-Pasifik memperoleh giliran memimpin, lalu nama yang disepakati dibawa ke sidang untuk disahkan melalui prosedur internal. Setelah itu, Presiden Dewan HAM akan memimpin jalannya sesi reguler, sesi khusus, serta memastikan pembahasan berjalan sesuai aturan.
Di balik perannya yang terlihat seremonial, posisi ini juga mengelola agenda rapat, mengatur hak bicara, dan bekerja bersama Bureau yang berisi empat wakil presiden dari kawasan berbeda. Presiden harus menjaga netralitas ketika memfasilitasi debat resolusi, laporan, hingga pernyataan negara anggota, sekaligus meredam ketegangan bila isu sensitif mengemuka. Bagi Indonesia, tugas Presiden Dewan HAM berarti menyeimbangkan kepemimpinan prosedural dengan diplomasi yang aktif namun terukur.
Pernyataan dukungan dari Beijing disampaikan melalui juru bicara Kemenlu China, Lin Jian, yang menekankan pentingnya dialog dan kerja sama multilateral. Di pihak Indonesia, agenda teknis disiapkan dari sekarang, mulai dari pemetaan isu prioritas, kesiapan delegasi, hingga koordinasi dengan negara anggota lintas kawasan. Sejumlah laporan menyebut pengesahan nominasi dijadwalkan pada pertemuan awal Januari 2026 di Jenewa, dan perwakilan tetap RI diperkirakan memegang palu sidang sepanjang 2026. Selain memimpin sidang, ia juga menandatangani keputusan administratif yang diperlukan untuk kelancaran kerja sekretariat harian.
Peluang memimpin dewan pada 2026 datang di saat isu HAM global makin kompleks, dari konflik bersenjata, arus pengungsi, hingga dampak teknologi pada privasi. Tahun itu juga menandai dua dekade sejak Dewan HAM PBB dibentuk, sehingga banyak pihak memprediksi agenda pembenahan prosedur dan efektivitas kerja akan kembali mengemuka. Indonesia diperkirakan mendorong pendekatan dialogis yang menekankan kerja sama teknis, tanpa mengabaikan prinsip perlindungan korban.
Baca juga : Stabilitas Keamanan Indo Pasifik Lewat RI Australia
Di tingkat diplomasi, Presiden Dewan HAM harus mampu mengelola rivalitas negara besar agar sidang tidak berubah menjadi panggung saling serang di berbagai ruang diplomasi. Indonesia perlu menyiapkan posisi komunikasi yang konsisten, termasuk menjelaskan kebijakan nasional terkait kebebasan sipil, perlindungan kelompok rentan, dan penegakan hukum ketika sorotan datang dari delegasi. Di saat yang sama, presidensi dapat dimanfaatkan untuk mendorong diskusi tematik seperti hak atas pembangunan, isu iklim, dan ekonomi digital yang kian berpengaruh pada kehidupan warga.
Tantangan lainnya adalah menjaga kredibilitas di mata publik dalam negeri, karena peran internasional sering dibaca sebagai cerminan kualitas tata kelola di rumah sendiri. Untuk itu, sinergi antarinstansi, dukungan parlemen, dan keterbukaan data menjadi kunci agar pesan delegasi sejalan dengan upaya perbaikan. Jika dikelola rapi, masa jabatan 2026 bisa menjadi momentum memperluas jejaring, meningkatkan kapasitas diplomasi, dan memperkuat posisi Indonesia sebagai penghubung berbagai kepentingan.