Pabrik Fast Fashion Terancam Tarif Baru AS

Agustus 8, 2025
Pabrik Fast Fashion Terancam Tarif Baru AS

Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali meningkat seiring mendekatnya tenggat kesepakatan dagang sementara antara kedua negara. Di tengah ketidakpastian itu, pabrik fast fashion China di Guangzhou mulai bersiap menghadapi skenario terburuk: tarif ekspor tinggi yang dapat melumpuhkan produksi mereka.

Kota Guangzhou di wilayah selatan Tiongkok selama ini dikenal sebagai pusat industri mode cepat. Ribuan pabrik dan jutaan pekerja menggantungkan hidup mereka dari ekspor pakaian ke pasar global, terutama Amerika Serikat. Namun ancaman tarif hingga 145% dari pemerintahan Presiden Donald Trump membuat banyak pengusaha mulai cemas.

Amy Hawkins, jurnalis senior The Guardian, melaporkan langsung dari lokasi bahwa banyak pabrik fast fashion China mulai mengurangi produksi, memotong jam kerja, dan bahkan mempertimbangkan pemutusan hubungan kerja sebagai langkah bertahan.

Gencatan Dagang Akan Segera Berakhir

Kesepakatan gencatan dagang parsial antara AS dan China yang dicapai pada Mei 2025 akan berakhir pada Selasa, 12 Agustus. Sejauh ini belum ada tanda-tanda bahwa kedua negara akan mencapai kesepakatan baru. Pemerintah AS menuding kerja sama energi China dengan Rusia sebagai alasan diberlakukannya kembali sanksi perdagangan.

Kondisi ini berdampak langsung pada pabrik fast fashion China yang sebagian besar produknya diekspor ke pasar Amerika. Dengan naiknya bea masuk, harga produk akan melambung dan mengurangi daya saing di pasar internasional. Para pengusaha pun mulai mengalihkan fokus ke pasar Asia Tenggara dan Timur Tengah sebagai solusi alternatif.

Namun solusi ini tidak mudah. Infrastruktur logistik dan permintaan konsumen di luar AS masih belum mampu menyerap kapasitas produksi besar dari Guangzhou. Ini menyebabkan banyak pabrik menghadapi tekanan finansial yang cukup berat.

Ancaman tarif bukan hanya soal ekspor dan keuntungan bisnis, tapi juga menyangkut kehidupan jutaan buruh. Banyak dari mereka adalah pekerja migran dari wilayah pedalaman China yang bekerja dalam kondisi serba terbatas di pabrik fast fashion China.

Baca juga : China Waspadai Elite Teknologi AS di Era Trump 2.0

Dengan berkurangnya permintaan dan meningkatnya ketidakpastian, gelombang PHK massal menjadi ancaman nyata. Selain itu, pemilik pabrik mulai mempertimbangkan penggunaan teknologi otomasi untuk menekan biaya, yang tentu saja akan mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia.

Jika ketegangan dagang ini terus berlanjut, pabrik fast fashion China bisa menjadi titik awal dari krisis ekonomi dan sosial yang lebih luas di kawasan. Dunia kini menanti apakah Amerika Serikat dan China akan memilih diplomasi atau kembali terjun ke medan perang dagang berkepanjangan.

Leave A Comment

Create your account