Gelombang penutupan pabrik di China hantam ekonomi nasional

Kondisi ekonomi Tiongkok semakin mendapat sorotan setelah maraknya penutupan pabrik di China yang menghantam sektor industri. Data terbaru menunjukkan perlambatan signifikan pada output manufaktur dan konsumsi domestik. Sejumlah faktor menjadi penyebab, mulai dari krisis properti yang berkepanjangan, penurunan permintaan global, hingga dampak kebijakan tarif dari Amerika Serikat.
Output industri pada Juli hanya tumbuh 5,7 persen, angka terendah dalam delapan bulan terakhir. Penjualan ritel juga turun menjadi 3,7 persen, level terendah sejak awal tahun. Maraknya penutupan pabrik di China menunjukkan betapa rentannya sektor manufaktur, yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi China. Kondisi tersebut membuat pemerintah dihadapkan pada desakan untuk segera meluncurkan stimulus baru.
Dampak penutupan pabrik dan lemahnya konsumsi
Fenomena penutupan pabrik di China berdampak langsung terhadap lapangan kerja. Banyak perusahaan mengurangi jam operasional, bahkan menutup fasilitas produksi karena tidak mampu menanggung beban biaya. Situasi ini memicu kekhawatiran meningkatnya angka pengangguran serta menekan daya beli masyarakat.
Tekanan juga terlihat pada sisi ekspor. Perang tarif yang digencarkan Amerika Serikat semakin mempersempit akses produk China ke pasar internasional. Akibatnya, laba industri menurun tajam dan pabrik-pabrik kecil mengalami kebangkrutan. Melemahnya konsumsi domestik memperparah situasi, sehingga lingkaran masalah ekonomi semakin sulit diputus.
Pemerintah berupaya menjaga stabilitas dengan kebijakan efisiensi kapasitas dan dukungan pada sektor strategis. Namun tanpa langkah yang lebih agresif, risiko deflasi bisa meningkat, yang berpotensi menyeret ekonomi ke fase stagnasi lebih dalam. Ke depan, penutupan pabrik di China diperkirakan masih berlanjut jika tekanan global tidak mereda.
Dalam jangka pendek, penutupan pabrik di China akan terus menjadi isu utama yang membayangi pertumbuhan. Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur bahkan turun ke bawah angka 50, menandakan kontraksi. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor industri belum pulih dan masih menghadapi banyak hambatan.
Baca juga : IMF Revisi Naik Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi China 2025
Tekanan juga datang dari sektor properti yang masih lesu. Investasi di bidang konstruksi dan perumahan terus melemah, menambah beban bagi ekonomi secara keseluruhan. Di sisi lain, deflasi harga produsen memperkecil margin keuntungan industri, membuat banyak perusahaan sulit bertahan.
Meskipun demikian, ada peluang jika pemerintah segera mengambil langkah strategis berupa stimulus fiskal dan moneter. Dukungan terhadap konsumsi rumah tangga, penguatan ekspor, serta investasi pada teknologi baru dapat menjadi jalan keluar. Namun, tantangan tetap besar karena faktor eksternal seperti perang dagang dan pelemahan global masih berlangsung. Untuk saat ini, penutupan pabrik di China menjadi cermin rapuhnya fondasi ekonomi Negeri Tirai Bambu di tengah guncangan global.