Diplomasi China AS Redam Konflik Thailand Kamboja Jelang ASEAN
Diplomasi China AS menguat jelang pertemuan khusus ASEAN di Kuala Lumpur yang dijadwalkan pada 22 Desember 2025. Dua kekuatan besar itu sama-sama mendorong de-eskalasi konflik Thailand dan Kamboja yang kembali memanas di perbatasan sejak awal Desember. Upaya ini muncul di tengah kekhawatiran kawasan terhadap dampak kemanusiaan, gangguan perdagangan lintas batas, dan risiko meluasnya konflik bila ketegangan terus berlanjut tanpa mekanisme penghentian tembak-menembak yang jelas.
Utusan khusus China untuk urusan Asia, Deng Xijun, mendatangi Phnom Penh dan menyampaikan keinginan Beijing berperan konstruktif dalam mendorong dialog. Dari sisi Washington, Menlu Marco Rubio dilaporkan menghubungi pihak terkait dan menyampaikan optimisme hati-hati bahwa gencatan senjata bisa kembali pada awal pekan depan. Diplomasi China AS dinilai penting karena dapat mempengaruhi kalkulasi kedua pihak, terutama soal langkah-langkah yang menurunkan intensitas militer di titik rawan perbatasan.
Di lapangan, laporan media menyebut jumlah korban dan pengungsi meningkat, sementara tudingan soal ranjau darat memperumit proses meredakan situasi. ASEAN berupaya menjadi jalur utama mediasi, namun dukungan negara besar dianggap dapat mempercepat kesepakatan teknis gencatan senjata. Sejumlah pihak menilai, tanpa komitmen yang terukur, gencatan senjata rentan runtuh dan bentrokan bisa berulang.
Utusan China ke Phnom Penh, AS Dorong Ceasefire
Langkah Beijing terlihat melalui kunjungan utusan khusus Deng Xijun ke Kamboja untuk membahas opsi de-eskalasi dan pembukaan jalur komunikasi yang lebih stabil. China menekankan pendekatan dialog dan menempatkan diri sebagai pihak yang ingin membantu meredakan konflik tanpa menambah ketegangan baru. Diplomasi China AS pada fase ini juga dipandang sebagai pesan bahwa konflik perbatasan tidak boleh berubah menjadi krisis regional yang mengancam stabilitas Asia Tenggara. Di sisi lain, China tetap berkepentingan menjaga kelancaran jalur logistik, investasi, dan arus perdagangan kawasan yang bisa terganggu jika pertempuran berkepanjangan.
Amerika Serikat bergerak melalui jalur diplomasi tingkat tinggi, dengan Menlu Marco Rubio menyampaikan optimisme hati-hati soal peluang gencatan senjata kembali tercapai. AS menekankan pentingnya penghentian kekerasan dan mendorong kedua pihak menahan diri, terutama di area yang rawan salah kalkulasi. Dalam Diplomasi China AS, Washington dinilai ingin memastikan ASEAN memimpin proses, namun tetap memberi tekanan agar perundingan menghasilkan komitmen yang dapat dipantau. Pesan AS juga berfokus pada perlindungan warga sipil dan pembukaan akses bantuan untuk pengungsi yang terdampak.
Namun, proses meredakan konflik tidak mudah karena ada faktor pemicu tambahan seperti tudingan ranjau darat dan eskalasi di beberapa titik sepanjang perbatasan. Thailand dilaporkan menuntut kejelasan soal keamanan perbatasan, sementara Kamboja mendorong penghentian serangan dan kembali ke meja perundingan. Kondisi ini membuat Diplomasi China AS diuji, karena kedua pihak membutuhkan formula yang tidak merugikan posisi politik domestik masing-masing.
Pertemuan khusus ASEAN di Kuala Lumpur diposisikan sebagai forum untuk merumuskan langkah konkret, mulai dari penghentian tembak-menembak hingga mekanisme pemantauan. Di atas kertas, ASEAN memiliki pengalaman mediasi, tetapi keberhasilan kerap bergantung pada kesediaan pihak bertikai menerima kompromi dan menyepakati prosedur teknis. Diplomasi China AS dinilai dapat membantu menekan ruang manuver pihak yang ingin memperpanjang konflik, serta memberi insentif agar kedua negara mematuhi kesepakatan. Namun ASEAN tetap menghadapi tantangan karena keputusan bersifat konsensus dan sensitivitas kedaulatan setiap negara anggota.
Baca juga : Perundingan Dagang AS China Disambut di Kuala Lumpur
Sejumlah analis menilai kunci utama adalah mekanisme pemantauan yang jelas, misalnya penetapan zona penyangga, hotline militer, dan jadwal penarikan pasukan dari titik tertentu. Tanpa elemen teknis, kesepakatan gencatan senjata sering hanya menjadi pernyataan politik yang rapuh dan mudah runtuh ketika terjadi insiden kecil. Selain itu, isu pengungsi dan akses bantuan harus dibahas paralel agar tekanan kemanusiaan tidak meningkat. Dalam konteks ini, Diplomasi China AS perlu berjalan seiring dengan kerja kemanusiaan dan koordinasi lintas batas.
Tantangan lain adalah menjaga narasi publik di kedua negara agar tidak mendorong eskalasi. Retorika yang keras dapat menutup ruang kompromi, sementara tekanan media sosial bisa mempersempit opsi diplomasi. ASEAN juga perlu memastikan jalur komunikasi tetap terbuka setelah pertemuan, dengan pemantauan berkala dan laporan kemajuan. Jika langkah-langkah ini berjalan, kawasan berpeluang menghindari konflik berkepanjangan dan fokus kembali pada stabilitas ekonomi serta kerja sama regional.