Dampak Perjanjian Dagang Rugikan Industri Tekstil RI
Dampak Perjanjian Dagang kembali menjadi sorotan setelah APSyFI menilai sejumlah kerja sama internasional dengan China justru merugikan industri tekstil dalam negeri. Dampak Perjanjian Dagang ini muncul akibat skema tarif rendah yang membuat produk impor masuk jauh lebih murah, sehingga produsen nasional kehilangan posisi di pasar sendiri. Kondisi tersebut menyulitkan banyak pabrik tekstil untuk menjaga keberlanjutan produksi, terutama di tengah tingginya biaya operasional dan melemahnya konsumsi domestik.
APSyFI menilai ketidakseimbangan itu semakin terasa terutama setelah penerapan kerja sama regional yang menghapus sebagian besar tarif impor. Hal ini menyebabkan barang jadi tekstil asal China membanjiri pasar, sementara produsen lokal tidak mendapatkan manfaat setara dari pasar ekspor. Kritik ini juga mencuat di saat pemerintah tengah menyusun kebijakan baru yang berpotensi memperbesar celah masuknya produk murah.
Dalam pandangan asosiasi, pemerintah perlu berhati-hati dalam menyusun perjanjian lintas negara karena keputusan tersebut berdampak langsung pada keberlangsungan industri padat karya. Dampak Perjanjian Dagang yang tidak dirancang dengan mempertimbangkan kapasitas industri lokal berpotensi memperburuk nasib pabrik dan pekerja di sektor tekstil nasional.
Ketimpangan Tarif dan Banjir Produk Impor dari China
Salah satu persoalan terbesar yang disorot APSyFI ialah hilangnya kemampuan bersaing akibat tarif impor yang terlalu rendah. Banyak produk asal China akhirnya masuk ke pasar domestik dengan harga sangat murah karena bea masuk yang mendekati nol. Ketimpangan ini membuat produsen Indonesia, terutama di sektor serat dan benang, berada dalam posisi sulit karena biaya produksi lokal tidak mampu menyamai efisiensi industri China. Dampak Perjanjian Dagang juga terlihat dari perbedaan akses pasar yang tidak seimbang antara kedua negara.
Selain itu, kebijakan seperti RCEP yang menghapus lebih dari 90 persen tarif antarnegara anggota semakin memperbesar potensi membanjirnya barang impor. APSyFI menilai Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi kompetisi sebesar itu, mengingat industri tekstil nasional masih menghadapi persoalan struktural seperti tingginya biaya energi, mesin yang relatif tua, dan keterbatasan teknologi. Situasi ini membuat pemangkasan tarif justru memberikan keuntungan yang jauh lebih besar bagi negara mitra.
Kritik serupa juga diarahkan pada rencana kebijakan yang membuka lebih banyak ruang bagi barang-barang impor melalui penyederhanaan aturan. Jika tidak diimbangi penguatan industri nasional, kebijakan tersebut dapat memperburuk ketidakseimbangan yang sudah terjadi.
APSyFI mendesak pemerintah meninjau kembali perjanjian dagang agar tidak terus merugikan sektor tekstil nasional. Menurut mereka, diperlukan strategi yang lebih berpihak pada industri lokal, termasuk penetapan tarif yang sesuai dan perlindungan terhadap komoditas sensitif. Dampak Perjanjian Dagang harus diantisipasi melalui evaluasi menyeluruh terhadap perjanjian yang sudah berjalan maupun kebijakan yang tengah disiapkan.
Baca juga : Uji Beban Jembatan China Pakai 96 Truk, Aman
Asosiasi juga mendorong pemerintah memperkuat daya saing industri tekstil dengan modernisasi mesin, penurunan biaya energi, serta dukungan fiskal bagi perusahaan yang terdampak. Tanpa langkah tersebut, banjir impor akan terus menekan kapasitas produksi dan berpotensi memicu penurunan jumlah tenaga kerja. Ketika industri dalam negeri tidak terlindungi, kemampuan Indonesia untuk bersaing di pasar global akan semakin melemah.
Dengan situasi saat ini, penting bagi pemerintah memastikan setiap keputusan perdagangan internasional memberikan manfaat nyata bagi perekonomian nasional. Dampak Perjanjian Dagang yang tidak terukur dapat berbahaya bagi sektor padat karya seperti tekstil, sehingga diperlukan kebijakan yang lebih seimbang dan melindungi kepentingan industri lokal.