Pengadaan Jet Tiongkok Perkuat Pertahanan Udara RI
Pengadaan Jet Tiongkok menjadi sorotan setelah Menhan menyebut rencana pembelian jet tempur J-10 untuk memperkuat kesiapan TNI AU. Pernyataan itu dibaca sebagai sinyal percepatan modernisasi armada di tengah kebutuhan superioritas udara dan tugas patroli wilayah yang kian padat. Pemerintah menekankan bahwa setiap akuisisi mengikuti aturan pengadaan, evaluasi kebutuhan operasi, serta kesiapan dukungan logistik agar pesawat benar-benar menambah daya gentar dan bukan sekadar deretan alutsista baru.
Di level implementasi, rencana ini harus sinkron dengan program yang telah berjalan—termasuk pelatihan awak, infrastruktur pangkalan, dan interoperabilitas dengan radar serta sistem komando. Pengadaan Jet Tiongkok juga menuntut kejelasan paket: pelatihan, suku cadang, peralatan uji, dan skema offset industri. Tanpa peta jalan itu, biaya pemeliharaan berisiko membengkak dan tingkat kesiapan turun. Karenanya, transparansi jadwal dan parameter kinerja menjadi kunci agar publik dapat memantau hasil nyata dari kebijakan pertahanan ini.
Spesifikasi Operasional dan Peran di Skuadron
Secara kelas, J-10 diposisikan sebagai pesawat multirole yang mampu menjalankan misi pengamanan wilayah udara, penindakan pelanggaran, hingga dukungan penyerangan presisi. Pemerintah belum merinci varian dan konfigurasi, namun orientasi operasionalnya diperkirakan menekankan kemampuan tempur jarak menengah, integrasi rudal berpemandu, serta kompatibilitas dengan jaringan sensor yang ada. Dalam skenario patroli harian, penempatan skuadron akan mempertimbangkan kedekatan dengan airway padat, sektor rawan pelanggaran, dan dukungan tanker atau ground support.
Agar manfaatnya maksimal, mission planning harus menyatu dengan sistem komando-kendali yang sudah dipakai TNI AU, termasuk data link untuk pembagian situasi taktis secara real time. Di sisi industri, peluang kerja sama perawatan dan MRO perlu disiapkan sejak awal agar ketersediaan pesawat tidak bergantung sepenuhnya pada impor. Pengadaan Jet Tiongkok dapat memberi ruang transfer keahlian—dari avionics hingga ground crew—asalkan dituangkan jelas dalam klausul kontrak dan dieksekusi dengan target yang terukur. Tanpa disiplin itu, learning curve akan memanjang dan kesiapan skuadron melambat.
Baca juga : Rencana Akuisisi J10 TNI AU Masih Dikaji
Kebijakan belanja pertahanan harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan operasional dan keberlanjutan fiskal. Biaya siklus hidup—bukan hanya harga unit—menjadi faktor penentu; termasuk bahan bakar, suku cadang, engine overhaul, hingga pelatihan berulang. Dalam konteks campuran armada yang kini melibatkan berbagai pabrikan, manajemen persediaan dan interoperabilitas antarplatform tak bisa diabaikan. Pengadaan Jet Tiongkok karenanya memerlukan fleet mix yang jelas: peran, jumlah jam terbang, serta lokasi pangkalan agar operasi efektif dan biaya terkendali.
Dimensi diplomatik juga tak kalah penting. Akuisisi dari Tiongkok memperdalam hubungan pertahanan kedua negara, namun Indonesia tetap menegaskan politik luar negeri yang bebas aktif. Karena itu, koordinasi dengan mitra lama—dari pemasok radar hingga penyedia latihan bersama—perlu dijaga agar akses teknologi dan suku cadang tidak terganggu. Pada akhirnya, indikator keberhasilan tidak berhenti di seremoni kedatangan, melainkan pada kesiapan tempur yang terukur, keselamatan operasi, dan kontribusi nyata terhadap pengamanan ruang udara. Jika aspek-aspek tersebut terpenuhi, Pengadaan Jet Tiongkok dapat menjadi lompatan kapabilitas yang relevan bagi TNI AU di dekade ini.