China & Taliban Tolak Rencana Rebut Bagram

September 21, 2025
China & Taliban Tolak Rencana Rebut Bagram

rencana rebut Bagram memicu penolakan tegas dari Beijing dan otoritas Kabul di bawah Taliban. Keduanya menyebut langkah militer untuk mengambil alih kembali pangkalan bekas AS itu tidak realistis serta berisiko mengguncang stabilitas kawasan. Taliban mengingatkan komitmen bahwa Afghanistan bebas dari pangkalan asing, sedangkan China menekankan penghormatan kedaulatan dan menghindari eskalasi baru dekat perbatasannya.

Di Washington, wacana tersebut dikaitkan dengan urgensi strategis dan isu pengawasan terhadap program nuklir China. Namun analis menilai, jalur kekuatan keras akan menimbulkan konsekuensi diplomatik luas: penolakan negara tetangga, biaya logistik besar, dan potensi gesekan dengan mitra regional. Karena itu, pembacaan publik internasional melihat rencana rebut Bagram lebih sebagai manuver politik yang menguji batas koalisi, ketimbang opsi operasional yang siap dieksekusi dalam waktu dekat.

Respons Beijing dan Kabul

Beijing menyelaraskan pernyataannya dengan prinsip non-intervensi: tidak ada dukungan terhadap operasi militer baru yang dapat memicu gelombang pengungsi maupun kelompok bersenjata lintas perbatasan. Otoritas China menilai fokus kawasan adalah pemulihan ekonomi dan pengamanan jalur perdagangan Asia Tengah. Di sisi lain, juru bicara Taliban menegaskan kembali bahwa konstitusi dan kebijakan mereka melarang keberadaan pangkalan asing; setiap upaya memaksa akan dianggap pelanggaran kedaulatan. Pernyataan tegas ini membuat rencana rebut Bagram praktis kehilangan landasan hukum di dalam wilayah Afghanistan.

Pada tingkat teknis, pengambilalihan pangkalan aktif menuntut izin teritori, dukungan logistik udara, dan payung diplomatik dari negara sekitar—syarat yang saat ini tidak tersedia. Pakistan, Iran, dan negara Asia Tengah cenderung menghindari konfrontasi terbuka yang bisa menyeret mereka pada rivalitas kekuatan besar. Di tataran publik, media lokal Afghanistan menyoroti memori pahit perang dua dekade terakhir, sehingga dukungan terhadap kembalinya militer asing sangat kecil. Konsensus ini mempersempit ruang manuver pihak mana pun yang ingin mengujicoba opsi militer.

Baca juga : China Pamer Rudal Hipersonik Nuklir di Parade Militer

Bagram dulu menjadi simpul UAV, intelijen, dan dukungan udara; mengaktifkannya kembali tanpa persetujuan Kabul akan memantik respons keras dan menambah beban misi perlindungan personel. Secara regional, langkah itu berpotensi mendorong koordinasi anti-intervensi antara China, Rusia, dan beberapa negara Asia Tengah. Di sisi Barat, sekutu pun belum tentu satu suara karena risiko eskalasi dengan aktor kawasan. Dengan kata lain, rencana rebut Bagram membawa biaya strategis lebih besar dibanding manfaat jangka pendeknya.

Bagi AS, opsi yang lebih realistis adalah membangun jaringan mitra intelijen, pengawasan jarak jauh, dan kerja sama kontra-terorisme yang tidak menuntut pangkalan permanen. Untuk Afghanistan, kesempatan yang muncul ialah memperkuat legitimasi domestik lewat komitmen keamanan internal dan kerja sama ekonomi lintas batas. Investor regional menginginkan kepastian bahwa jalur logistik tetap aman, sedangkan masyarakat sipil mendesak prioritas pada pemulihan layanan dasar. Jika kanal diplomatik dimaksimalkan—misalnya dialog keamanan kawasan dan bantuan kemanusiaan terarah—tensi dapat diredam tanpa membuka babak baru konflik. Pada titik ini, penolakan serempak atas rencana rebut Bagram justru menjadi sinyal bahwa stabilitas kawasan lebih diutamakan daripada simbolisme geopolitik.

Leave A Comment

Create your account