Fenomena tren pura pura kerja di China
Fenomena sosial baru kembali mencuri perhatian publik di kota-kota besar China. Sejumlah lulusan baru dan pencari kerja memilih menghabiskan waktu di perpustakaan, kafe, hingga ruang kerja sewaan yang meniru suasana kantor. Mereka datang pagi, membuka laptop, menyusun agenda, dan berlatih disiplin seperti pekerja kantoran. Langkah ini dinilai menjaga ritme harian sekaligus memupuk jejaring baru.
Di kalangan pengamat, praktik serupa kerap disebut tren pura pura kerja. Meski tidak menghasilkan gaji, rutinitas ini dianggap membantu segelintir anak muda mempertahankan kesehatan mental, membangun portofolio, dan tetap aktif berburu pekerjaan. Pada saat yang sama, penyedia ruang kerja melihat peluang bisnis dari kebutuhan komunitas tersebut, menawarkan paket harian murah, wifi cepat, serta ruang rapat kecil yang bisa disewa bersama.
Latar belakang, pola, dan pelaku usaha
Tekanan pasar kerja bagi usia muda, terutama di sektor teknologi dan properti, mendorong sebagian pencari kerja mencari ritme harian yang stabil. Polanya sederhana: datang pagi, bergantian memimpin “rapat” kecil, dan mengerjakan proyek pribadi atau kursus daring. Di beberapa kota, operator coworking bahkan menyediakan paket tematik yang meniru jadwal kantor lengkap dengan ruang rapat singkat untuk simulasi presentasi. Praktik ini memunculkan komunitas belajar dan forum berbagi lowongan yang saling menguatkan.
Bagi pengelola ruang, muncul ceruk pasar baru yang relatif tahan cuaca. Paket hemat, minuman isi ulang, dan loker harian ditawarkan untuk menarik kelompok ini. Sosiolog menilai, popularitas tren pura pura kerja tidak lepas dari dorongan status sosial di media, di mana produktivitas terlihat dihargai. Namun, mereka mengingatkan pentingnya batas antara performa semu dan pencapaian nyata agar peserta tidak terjebak rutinitas tanpa hasil yang terukur.
Baca juga : Tarakan tindak deportasi WNA China karena overstay
Sejumlah peserta mengaku praktik ini membantu menjaga motivasi, memperbaiki manajemen waktu, dan mengurangi rasa terisolasi. Mereka memanfaatkan ruang tenang untuk menyusun lamaran, mempelajari perangkat lunak, atau mengerjakan proyek lepas. Komunitas yang terbentuk memberi dukungan moral, referensi, serta akses mentor. Jika dikelola baik, ekosistem ini dapat menjadi jembatan ke penempatan kerja atau kolaborasi usaha kecil.
Meski demikian, psikolog mengingatkan potensi kelelahan dan pemborosan jika tujuan tidak jelas. Penting ada rencana mingguan dengan indikator konkret, seperti jumlah lamaran, sertifikasi yang diselesaikan, atau portofolio yang diunggah. Pemerintah daerah dan kampus dapat memanfaatkan geliat tren pura pura kerja untuk memperluas bursa kerja, pelatihan singkat, dan inkubasi wirausaha. Pada akhirnya, tujuan utama tetap sama: membantu generasi muda memasuki pasar kerja formal. Dengan fokus pada peningkatan keterampilan dan jejaring yang relevan, tren pura pura kerja bisa menjadi batu loncatan, bukan sekadar pertunjukan kesibukan belaka.