Pop Mart Genjot Ekspansi Global dengan Labubu

Perusahaan mainan asal Tiongkok, Pop Mart, terus memantapkan langkahnya di panggung global dengan mengandalkan karakter ikonik Labubu. Dalam pernyataan terbaru, CEO Pop Mart Wang Ning menyebut bahwa penjualan internasional mereka diperkirakan akan melampaui pasar domestik pada 2025. Hal ini menandakan pergeseran besar dalam strategi perusahaan: membawa merek budaya pop Tiongkok mendunia.
Labubu—karakter mungil dengan ekspresi lucu dan menyeramkan—telah mencuri perhatian penggemar koleksi mainan di berbagai negara. Dibuat oleh seniman Hong Kong Kasing Lung, Labubu menjadi simbol dari gaya visual eksentrik yang menjadi tren di kalangan milenial dan Gen Z. Sejak peluncurannya dalam format blind box, Labubu langsung mendapat sambutan luar biasa, bahkan menimbulkan antrean panjang di sejumlah kota besar seperti Tokyo, London, hingga Melbourne.
Pop Mart berhasil membangun merek ini secara global tanpa mengandalkan promosi besar-besaran. Lewat strategi digital berbasis media sosial seperti TikTok, Instagram, dan dukungan dari selebritas global seperti Lisa BLACKPINK dan Rihanna, karakter ini menyebar cepat dan menjadi ikon baru budaya urban global.
Penjualan Internasional Pop Mart Tembus Rekor
Dalam laporan keuangan tahun 2024, Pop Mart mencatat pendapatan global sebesar US$1,8 miliar, di mana lebih dari 40% di antaranya berasal dari penjualan internasional. Lonjakan itu menandai peningkatan hampir 375% dibanding tahun sebelumnya untuk pasar luar negeri. CEO Wang Ning menyatakan bahwa target mereka tahun ini adalah membuka lebih dari 100 toko internasional dan memperluas operasi e-commerce ke lebih banyak wilayah.
Kesuksesan Labubu juga membuat Pop Mart percaya diri menjajaki kerja sama lintas negara dengan berbagai desainer dan merek lokal. Perusahaan ini tak hanya ingin dikenal sebagai “Disney-nya China”, tetapi sebagai “Pop Mart versi dunia”. Untuk itu, investasi dalam logistik, distribusi, dan pelokalan konten telah menjadi fokus utama dalam strategi 2025.
Namun, kesuksesan tersebut tidak datang tanpa tantangan. Di beberapa negara, animo terhadap Labubu justru menciptakan kerusuhan kecil saat pembukaan toko, bahkan memaksa Pop Mart menutup sementara penjualan offline-nya di Inggris. Kasus lain terjadi di beberapa wilayah yang menilai desain karakter terlalu menyeramkan bagi anak-anak.
Labubu bukan sekadar karakter lucu, tetapi juga simbol dari pergeseran selera estetika generasi baru. Meski demikian, beberapa pengamat memperingatkan bahwa popularitas Labubu bisa bersifat sementara jika perusahaan tidak terus berinovasi.
Baca juga : Laporan CISCE 2025 Ungkap Tren Baru Rantai Pasok Global
Kritik juga muncul terhadap sistem blind box yang dianggap sebagai bentuk ‘perjudian ringan’, terutama bagi kalangan remaja. Di sejumlah wilayah, sistem ini mulai diawasi oleh badan perlindungan konsumen. CEO Wang Ning menjawab kekhawatiran itu dengan menyatakan bahwa Pop Mart akan lebih transparan dan memberikan pilihan pembelian langsung di masa depan.
Pop Mart juga menghadapi persaingan dari merek koleksi lain seperti Funko, Bearbrick, dan desainer lokal yang makin aktif di ranah mainan koleksi. Untuk menjaga momentum, perusahaan harus terus menghadirkan edisi khusus, kolaborasi eksklusif, dan pendekatan yang segar dalam memasarkan produknya.