Tiongkok menunjukkan langkah agresif dalam mengelola ekonomi nasional sepanjang paruh pertama 2025. Melalui pelonggaran moneter yang tepat sasaran, otoritas keuangan berhasil menjaga arus kredit dan likuiditas di tengah tantangan ekonomi global dan tekanan domestik, seperti lesunya sektor properti serta konsumsi yang masih tertahan.

Bank Sentral Tiongkok (PBOC) melaporkan bahwa total kredit baru yang disalurkan dalam enam bulan pertama mencapai 12,92 triliun yuan. Meskipun angka tersebut sedikit lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu, laju pertumbuhan kredit mengalami percepatan pada Juni dengan pencatatan sebesar 2,24 triliun yuan. Kinerja tersebut bahkan melampaui ekspektasi pasar, menunjukkan bahwa permintaan kredit mulai pulih setelah sempat melambat pada kuartal sebelumnya.

Selain itu, total pembiayaan sosial (TSF)—indikator penting bagi keseluruhan pendanaan sektor riil—mengalami lonjakan dengan pertumbuhan tahunan sebesar 8,9 persen. Ini merupakan level tertinggi dalam lebih dari satu tahun terakhir. Seiring dengan itu, M2 atau suplai uang juga tumbuh stabil di angka 8,3 persen, menandakan bahwa kebijakan moneter longgar yang diterapkan efektif dalam menggerakkan likuiditas.

Salah satu elemen penting dari strategi ini adalah penurunan suku bunga reverse repo tujuh hari dari 1,5 persen menjadi 1,4 persen. Selain itu, PBOC juga memangkas rasio cadangan wajib (RRR) sebesar 50 basis poin. Langkah tersebut melepaskan lebih dari satu triliun yuan ke sistem keuangan, memberikan keleluasaan bagi perbankan untuk meningkatkan penyaluran kredit ke sektor produktif.

Suku bunga kredit rata-rata untuk sektor korporasi juga mengalami penurunan, kini berada di sekitar 3,3 persen. Ini menciptakan ruang bagi pelaku usaha untuk meningkatkan ekspansi, khususnya di sektor industri dan infrastruktur yang menjadi fokus utama pemerintah. Hingga akhir semester, 90 persen dari pinjaman baru dikucurkan ke sektor non-finansial, menandakan orientasi jelas pada pertumbuhan ekonomi riil.

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, produk domestik bruto (PDB) Tiongkok pada kuartal kedua 2025 mencatatkan angka sebesar 5,2 persen secara tahunan. Meskipun sedikit lebih lambat dibandingkan kuartal pertama yang tumbuh 5,4 persen, angka ini tetap berada di atas ekspektasi analis yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 5,1 persen. Industri manufaktur tumbuh solid, sementara sektor jasa menunjukkan pemulihan bertahap.

Namun demikian, tantangan belum sepenuhnya teratasi. Harga rumah baru di sejumlah kota besar mengalami penurunan signifikan. Sektor properti yang selama ini menjadi penopang utama ekonomi Tiongkok kini dalam fase konsolidasi. Pemerintah pusat telah memberi sinyal untuk memberikan dukungan terbatas yang lebih selektif bagi proyek-proyek perumahan dan pengembang yang terdampak.

Konsumsi rumah tangga juga menjadi perhatian serius. Angka penjualan ritel naik 4,8 persen pada Juni, lebih rendah dari prediksi. Hal ini mendorong para ekonom dan pembuat kebijakan menyerukan stimulus tambahan yang diarahkan untuk mendongkrak daya beli masyarakat, mulai dari insentif konsumsi, peningkatan pendapatan, hingga perluasan jaminan sosial.

Baca lagi : Bagaimana Strategi Dagang China Mengatur Ulang Peta Dagang Global Pasca Tekanan Barat

Dengan latar tersebut, para pelaku pasar kini menantikan hasil rapat Politburo yang dijadwalkan akhir Juli. Pertemuan ini diperkirakan akan menjadi tonggak penting dalam menentukan arah kebijakan makroekonomi semester kedua, termasuk kemungkinan pemangkasan suku bunga LPR dan pelonggaran moneter lanjutan.

Secara keseluruhan, strategi pelonggaran moneter Tiongkok pada semester pertama 2025 dinilai cukup efektif dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Fokus pada sektor riil, penyederhanaan biaya pinjaman, serta penguatan kepercayaan pelaku usaha menjadi fondasi penting dalam menghadapi ketidakpastian global. Langkah-langkah lanjutan dari otoritas keuangan dan fiskal akan menentukan keberlanjutan momentum ini dalam beberapa bulan ke depan.