Tarif AS–China 2025 Diturunkan, Industri Global Bergerak

Hubungan dagang Amerika Serikat dan China kembali memasuki babak baru setelah pemerintah AS mengumumkan penyesuaian tarif impor untuk berbagai produk dari Negeri Tirai Bambu. Sejak awal 2025, sejumlah barang dari China sempat dikenakan tarif tinggi, bahkan mencapai 145 persen. Namun, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa kedua negara mencapai kesepakatan sementara yang menurunkan tarif menjadi kisaran 30 hingga 55 persen, tergantung jenis produk.
Kesepakatan penurunan tarif ini dijadwalkan berlaku hingga awal Agustus 2025. Pemerintah AS menyatakan langkah ini sebagai cara untuk memberi ruang negosiasi lebih lanjut guna menyelesaikan sengketa dagang yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Di sisi lain, China berharap penurunan tarif ini dapat memulihkan sebagian ekspor yang sempat terpuruk akibat lonjakan biaya perdagangan.
Meskipun tarif diturunkan, ketidakpastian masih membayangi. Banyak pengusaha dan pelaku industri global menganggap kebijakan ini hanya “jeda sejenak” sebelum potensi kenaikan tarif kembali terjadi jika perundingan mandek. Pasalnya, Amerika Serikat masih menuntut perubahan struktural dalam kebijakan ekonomi China, terutama terkait transfer teknologi, subsidi industri, dan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Dampak Penyesuaian Tarif bagi Ekonomi China dan Global
Penyesuaian tarif langsung berdampak pada arus perdagangan internasional. Data perdagangan terbaru menunjukkan penurunan pangsa ekspor China ke AS menjadi hanya sekitar 7,1 persen dari total ekspor China pada pertengahan 2025. Angka ini menjadi titik terendah sejak awal 2000-an. Sebagai imbasnya, banyak perusahaan manufaktur China mulai mempertimbangkan relokasi pabrik ke negara lain, terutama kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, dan Indonesia.
Vietnam, misalnya, mencatat lonjakan pangsa ekspor ke AS hingga 5,7 persen, melampaui beberapa prediksi awal tahun. Pergeseran ini menjadi tren baru yang tak hanya terkait tarif, tetapi juga strategi diversifikasi risiko pasca pandemi. Banyak produsen global memilih memecah rantai pasok mereka ke beberapa negara guna menghindari ketergantungan berlebihan pada satu pasar.
Dampak lainnya adalah munculnya tekanan harga di sektor-sektor tertentu. Industri elektronik, otomotif, tekstil, hingga produk baja dan alumunium, terkena imbas kebijakan tarif baru. Meski tarif turun, biaya logistik dan ketidakpastian peraturan masih menjadi hambatan yang dirasakan eksportir kedua negara. Selain itu, pasar keuangan sempat bergejolak pasca pengumuman kebijakan, meskipun berangsur stabil setelah bank sentral China mengintervensi untuk menjaga kestabilan nilai tukar yuan.
Strategi AS, Reaksi China, dan Tantangan Lanjutan
Dari sisi Amerika Serikat, peninjauan tarif ini beriringan dengan kebijakan ekonomi Presiden Trump yang masih menganut prinsip proteksionisme. Pemerintah AS berusaha melindungi industri dalam negeri, sekaligus menekan China agar mau membuka pasar lebih luas dan menghentikan praktik yang dianggap merugikan perusahaan Amerika.
China, sementara itu, tetap berhati-hati. Pemerintah Beijing menahan diri dari tindakan balasan agresif, sembari berfokus menjaga stabilitas ekonomi domestik. Tindakan spekulatif di pasar valuta asing pun ditekan, guna mencegah depresiasi yuan yang bisa memicu krisis ekonomi lanjutan.
Para pelaku pasar meyakini masa depan hubungan dagang AS–China akan sangat ditentukan oleh hasil negosiasi yang masih berlangsung. Jika kesepakatan tidak tercapai hingga Agustus 2025, ada risiko tarif kembali melonjak ke angka sebelumnya atau bahkan lebih tinggi. Ini akan menimbulkan ketidakpastian besar, tidak hanya bagi hubungan kedua negara, tetapi juga bagi stabilitas ekonomi global.
Pemerintah negara-negara lain kini mencermati perkembangan ini dengan waspada. Banyak yang berharap AS dan China dapat menemukan titik temu, karena kedua negara memiliki peran vital dalam rantai pasok global. Selain itu, negara-negara ASEAN diprediksi akan terus menjadi alternatif lokasi investasi, mengingat minat relokasi pabrik dari China yang kian deras.
Penurunan tarif AS terhadap China memberikan harapan baru bagi dunia usaha dan pasar global. Namun, banyak pihak sepakat bahwa kesepakatan ini masih bersifat sementara. Jika pembicaraan antara kedua negara kembali buntu, perang dagang berpotensi memanas, membawa dampak lebih luas terhadap perdagangan dunia, harga komoditas, serta strategi rantai pasok industri global. Kini mata dunia tertuju pada Agustus 2025, yang menjadi penentu arah hubungan dagang dua ekonomi terbesar dunia tersebut.