Kunjungan Albanese ke China, AUKUS dan Taiwan Jadi Sorotan

Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, melakukan kunjungan kenegaraan ke China di tengah ketegangan geopolitik yang masih tinggi antara Amerika Serikat dan Negeri Tirai Bambu. Kunjungan ini digelar selama enam hari, dengan tujuan utama memperkuat hubungan ekonomi sekaligus menjajaki kerja sama diplomasi. Namun, suasana kunjungan tidak sepenuhnya lepas dari bayang-bayang isu pertahanan, khususnya terkait pakta AUKUS dan posisi Australia soal Taiwan.
Albanese berusaha menyeimbangkan kepentingan nasional Australia di antara dua kekuatan besar dunia. Di satu sisi, Australia ingin menjaga hubungan dagang yang menguntungkan dengan China, mitra dagang terbesarnya. Namun di sisi lain, komitmen Australia dalam perjanjian AUKUS bersama Amerika Serikat dan Inggris menempatkan negeri itu pada posisi rumit.
Kunjungan Albanese ke China menjadi perhatian karena dilakukan di tengah peninjauan ulang kebijakan AUKUS oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Trump menilai AUKUS perlu dipertimbangkan ulang, baik dari sisi pendanaan maupun tujuan strategisnya. Hal ini memunculkan pertanyaan baru tentang sejauh mana Australia bersedia terlibat secara militer, terutama terkait potensi konflik di Selat Taiwan.
Tekanan dari AUKUS dan Respons Hati-Hati Australia
Isu AUKUS memang menjadi salah satu bayangan terbesar dalam kunjungan Albanese. Amerika Serikat mendesak agar Australia meningkatkan komitmen militernya, termasuk kemungkinan penggunaan kapal selam bertenaga nuklir yang direncanakan dalam kerangka AUKUS. Namun, Australia menolak memberikan komitmen terbuka soal apakah mereka akan mendukung AS dalam konflik militer di kawasan, khususnya jika terjadi ketegangan terkait Taiwan.
Dalam berbagai kesempatan, Albanese menegaskan bahwa posisi Australia tetap konsisten mendukung status quo di Taiwan. Artinya, Australia tidak ingin memprovokasi ketegangan, namun juga tidak akan menarik diri sepenuhnya dari komitmen internasionalnya. Pemerintah Australia berupaya menempatkan keputusan pengiriman pasukan sebagai wewenang pemerintah yang sedang berkuasa, bukan komitmen mengikat dalam perjanjian jangka panjang.
Selain isu Taiwan, AS juga menekan Australia untuk menaikkan anggaran pertahanannya hingga mencapai 3,5 persen dari PDB, demi menopang aliansi AUKUS. Permintaan ini cukup memberatkan, mengingat Australia juga tengah menghadapi tantangan ekonomi domestik, termasuk inflasi dan kebutuhan belanja sosial yang tinggi.
Dilema Diplomasi Ekonomi dan Pertahanan
Albanese berusaha memanfaatkan kunjungan ini untuk mencairkan hubungan diplomatik yang sempat memburuk di masa lalu akibat sengketa perdagangan antara Australia dan China. Fokus pembicaraan meliputi peningkatan ekspor, kerja sama energi hijau, hingga pembukaan peluang investasi baru. Namun demikian, kehangatan hubungan ekonomi tak sepenuhnya mampu menghilangkan ketegangan strategis yang membayangi kedua negara.
Bagi China, Australia merupakan mitra penting sekaligus bagian dari blok sekutu AS. Beijing tentu ingin memastikan bahwa Canberra tidak sepenuhnya menjadi “perpanjangan tangan” kebijakan Washington, khususnya dalam hal kebijakan keamanan Indo-Pasifik.
Australia kini dihadapkan pada dilema: mempertahankan hubungan dagang yang vital dengan China atau menunjukkan loyalitas kepada AS dalam isu-isu strategis. Dalam konteks AUKUS, Australia masih berkomitmen melanjutkan pengadaan kapal selam nuklir, namun di sisi lain enggan terjebak dalam konflik terbuka yang bisa memicu ketidakstabilan kawasan.
Tantangan Masa Depan Australia
Masyarakat Australia kini menanti kejelasan arah kebijakan luar negeri pemerintah. Banyak pihak mendukung langkah Albanese yang mencoba bersikap hati-hati, namun tidak sedikit pula yang menilai Australia harus bersikap lebih tegas agar tidak dianggap bimbang oleh kedua pihak.
Keputusan final terkait AUKUS kini dinantikan. Sementara itu, pasar global, pelaku bisnis, dan investor juga mencermati perkembangan hubungan Canberra-Beijing. Jika ketegangan memanas, dampaknya bisa terasa luas, baik dari sisi perdagangan, ekonomi, maupun keamanan regional.
Baca juga : China Kembalikan Batuan Bulan, Picu Debat Krater Purba
Dengan kunjungan ini, Albanese berharap bisa menjaga keseimbangan, memelihara hubungan baik dengan China, sekaligus mempertahankan komitmen strategis bersama AS. Namun jalan diplomasi yang ditempuh tidak mudah, mengingat besarnya kepentingan ekonomi yang harus dipertahankan dan ancaman gejolak geopolitik yang tak kunjung surut.