China 2025, 12,2 Juta Lulusan Terancam Pengangguran Tinggi

China bersiap menghadapi tantangan besar di sektor ketenagakerjaan pada tahun 2025, saat sekitar 12,2 juta lulusan universitas dijadwalkan memasuki pasar kerja. Angka ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah negeri Tirai Bambu. Meskipun ekonomi China tengah bertransformasi menuju sektor teknologi tinggi, energi terbarukan, dan kendaraan listrik, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan serius antara harapan lulusan dengan kondisi pasar kerja yang ada.
Banyak lulusan terpaksa menerima pekerjaan di bidang yang tidak sesuai dengan keahlian atau minat mereka, atau bahkan terpaksa bekerja di sektor informal. Hal ini diperburuk dengan fenomena “credentialism” atau inflasi gelar, di mana bahkan pekerjaan level rendah kini kian banyak menuntut gelar sarjana. Akibatnya, kompetisi di antara lulusan makin ketat, sementara lapangan kerja berkualitas tak bertambah signifikan.
Menurut data Channel News Asia, meskipun ada sektor-sektor yang kekurangan tenaga kerja seperti manufaktur, lulusan perguruan tinggi justru enggan mengisi posisi tersebut karena dianggap tidak sesuai aspirasi karier mereka. Laporan ini mencatat kekurangan hampir 30 juta pekerja di sektor industri manufaktur, namun tetap banyak fresh graduate yang masih menganggur karena gap keterampilan yang lebar.
Realita Lulusan dan Ketimpangan Keterampilan
Ou Muoli, seorang lulusan jurusan ekonomi internasional, merupakan salah satu contoh nyata fenomena ini. Ia berharap bisa memperoleh pekerjaan dengan gaji sekitar 5.000 yuan per bulan plus jaminan sosial. Namun, realitanya, banyak tawaran pekerjaan yang datang kepadanya justru di bidang sales atau mengajar—bidang yang tidak sesuai minat dan latar belakang pendidikannya.
Fenomena mismatch ini menambah kompleksitas krisis ketenagakerjaan yang sedang membayangi China. Di satu sisi, perusahaan menuntut keterampilan praktis dan pengalaman, sementara lulusan baru belum memiliki jam terbang cukup. Hasilnya, banyak lulusan terjebak di pekerjaan bergaji rendah atau hanya berstatus magang meski memegang gelar sarjana.
Selain itu, biaya hidup tinggi di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Shenzhen turut menambah beban lulusan baru. Banyak dari mereka kini tergolong dalam kelompok “ant tribe”—sebutan bagi generasi muda berpendidikan tinggi yang hidup dengan pendapatan rendah, tinggal di hunian sempit, dan memiliki masa depan karier yang tidak pasti.
Langkah Pemerintah dan Prospek ke Depan
Menyadari ancaman sosial dan ekonomi dari lonjakan pengangguran, pemerintah China telah menggulirkan sejumlah kebijakan. Subsidi sosial bagi usaha kecil meningkat, termasuk bantuan asuransi pengangguran hingga 90 persen untuk bisnis yang mempekerjakan lulusan baru. Selain itu, pemerintah mendorong program pelatihan vokasi untuk mempersempit jurang antara kebutuhan industri dan keterampilan lulusan.
Namun, efektivitas kebijakan ini masih dipertanyakan. Pada 2023, tingkat pengangguran kaum muda (16–24 tahun) tercatat sempat menyentuh 21,3 persen, dan meskipun turun menjadi 16–17 persen pada 2024, angka ini tetap sangat tinggi. Banyak pihak menilai solusi sementara seperti subsidi belum cukup untuk menjawab masalah struktural di pasar kerja, yang menuntut perbaikan sistem pendidikan agar lebih sinkron dengan kebutuhan industri.
Analis memprediksi, jika tidak segera diatasi, kondisi ini bisa memicu ketidakstabilan sosial. Pemerintah pun didorong untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas di sektor teknologi, layanan modern, hingga usaha mandiri berbasis digital. Namun, perubahan ini membutuhkan waktu, sementara lulusan tahun 2025 semakin dekat menghadapi kenyataan sulit di pasar kerja.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Lonjakan 12,2 juta lulusan di tahun 2025 menjadi ujian berat bagi China. Pemerintah dituntut lebih cepat menciptakan lapangan kerja yang sesuai keahlian dan aspirasi generasi muda. Bila tidak, generasi muda terdidik berpotensi menjadi kelompok yang kecewa, dengan risiko munculnya ketidakpuasan sosial yang lebih luas.
Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah ini, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Mulai dari reformasi kurikulum pendidikan tinggi, hingga menciptakan sinergi nyata antara kampus dan industri.
Baca juga : China dan Asia Tengah Sepakati Pakta Persahabatan Permanen dan Paket Bantuan Baru
Tahun 2025 bisa menjadi penentu apakah China berhasil menghindari krisis sosial akibat pengangguran lulusan tinggi, atau justru makin terjerat dalam dilema kelebihan lulusan tanpa lapangan kerja memadai.