ASEAN Bisa Menentukan Nasibnya Sendiri di Tengah Rivalitas AS–China
Dunia yang Kian Terpolarisasi
Dalam dinamika geopolitik global yang semakin kompleks, Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang rawan terjebak dalam tarik-menarik dua kekuatan besar: Amerika Serikat dan Tiongkok. Namun dalam pidatonya di World Economic Forum “Summer Davos” di Tianjin pada 25 Juni 2025, Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong menyampaikan pesan tegas: ASEAN mampu dan harus menentukan nasibnya sendiri.
Pernyataan ini bukan hanya sekadar retorika diplomatik. Ia mencerminkan arah baru yang diambil ASEAN dalam menghadapi ketegangan global: bersikap netral, inklusif, dan strategis.
ASEAN Bukan Arena Proxy: Tolak Pola Perang Dingin
PM Wong menegaskan bahwa ASEAN tidak ingin menjadi pion atau medan perang pengganti (proxy war) bagi negara-negara adidaya. Ia merujuk pada pengalaman historis kawasan selama era Perang Dingin, ketika berbagai negara Asia Tenggara menjadi lokasi konflik ideologis dan militer yang berdampak panjang terhadap kestabilan dan pembangunan regional.
Kini, ASEAN berupaya menghindari skenario serupa. Dalam konteks rivalitas antara AS dan China, ASEAN justru ingin menciptakan ruang kolaborasi dan tidak terjebak pada dikotomi “memihak salah satu”.
Kekuatan Ekonomi ASEAN sebagai Senjata Diplomasi
Dengan lebih dari 600 juta penduduk dan total PDB yang melebihi USD 3 triliun, ASEAN telah berkembang menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Amerika Serikat saat ini merupakan investor asing langsung (FDI) terbesar di ASEAN, sementara China menjadi mitra dagang utama.
Hubungan yang simbiosis ini menjadikan ASEAN berada pada posisi strategis yang unik. Dengan leverage ekonomi tersebut, ASEAN dapat memainkan peran sebagai penyeimbang (balancer), bukan sekadar pengikut.
Seruan untuk Integrasi Kawasan Lebih Dalam
Selain membahas dinamika global, PM Wong juga menekankan pentingnya memperkuat kerja sama intra-ASEAN. Ia menyerukan:
- Penghapusan penuh tarif di antara negara-negara ASEAN.
- Pembaruan dan perluasan kerangka kerja sama perdagangan bebas (FTA).
- Investasi bersama dalam proyek-proyek besar seperti Jaringan Listrik ASEAN (ASEAN Power Grid).
- Kolaborasi teknologi dan transisi energi hijau.
Langkah-langkah ini tidak hanya akan memperkuat daya saing ASEAN, tetapi juga meningkatkan ketahanan kawasan dari guncangan eksternal.
Diplomasi Singapura: Kunjungan ke Tiongkok
Sehari sebelum forum di Tianjin, PM Wong melakukan kunjungan kenegaraan ke Beijing. Dalam pertemuan dengan Presiden Xi Jinping, China secara terbuka mendorong ASEAN—melalui Singapura—untuk “berdiri di sisi yang benar dalam sejarah”. Ini merujuk pada visi multipolar dunia yang dikampanyekan oleh Beijing.
Xi juga menyampaikan keinginan untuk memperkuat kerja sama digital, AI, serta memperluas inisiatif seperti Belt and Road ke kawasan Asia Tenggara.
Namun, meski bersedia menjalin kemitraan lebih erat, Wong tetap menekankan bahwa kerja sama itu harus didasari pada prinsip saling menghormati, aturan hukum internasional, dan tidak memaksakan pengaruh secara sepihak.
ASEAN di Persimpangan Jalan: Tantangan & Harapan
Tantangan yang Dihadapi ASEAN:
- Tekanan diplomatik dari kedua pihak besar (AS dan China).
- Perbedaan kepentingan internal di antara negara anggota ASEAN.
- Ancaman fragmentasi kawasan akibat ketidakseimbangan ekonomi dan keamanan.
Peluang yang Bisa Dimanfaatkan:
- Meningkatkan posisi tawar dalam perundingan dagang global.
- Menjadi pusat pertumbuhan teknologi dan transisi energi hijau.
- Menawarkan model tata kelola kawasan yang inklusif dan adaptif.
Masa Depan ASEAN Ada di Tangan Sendiri
Pernyataan Perdana Menteri Lawrence Wong mencerminkan suara kolektif yang mulai menguat di kawasan Asia Tenggara: ASEAN bukan hanya penonton dalam geopolitik global, melainkan pemain aktif yang punya hak dan kapasitas untuk menentukan jalannya sendiri.
Strategi netral yang cerdas, kolaborasi intra-kawasan yang erat, serta diplomasi yang aktif dan seimbang menjadi kunci agar ASEAN tetap relevan dan kuat di tengah tekanan dari kekuatan besar dunia.